Macam-macam bisnis
Bisnis Kulit Pari
Rheza Andhika Pamungkas - Okezone
JAKARTA - Di saat kerajinan kulit mulai banyak dijadikan lahan usaha, mungkin usaha yang satu ini patut Anda coba. Kerajinan kulit ikan pari. Walaupun tak sedikit pula yang berbisnis di pasar ini, namun diakui salah satu pengrajin tersebut, omzet dari bisnis ini sangat menjanjikan.
"Biarpun banyak yang main, namun omzetnya bagus," ujar salah satu pengrajin kulit pari took Romi Andre, Tanzil Indrianto, saat ditemui okezone, beberapa waktu lalu, di JCC Senayan, Jakarta.
Berkat bisnis ini, lanjutnya, dirinya meraih penghasilan bersih per bulannya tak kurang dari Rp30 juta walaupun dengan modal secukupnya. Sementara bahan kulit pari tersebut didapatkannya dari sejumlah pedagang kulit pari di Muara Angke Jakarta, Tuban, Pekalongan, dan paling banyak didapatkannya dari pekalongan.
Untuk bahan kulit pari paling kecil berukuran enam sampai tujuh cm harganya minimal Rp35 ribu. "Itu masih mentah dan belum disamak (proses kulit agar menjadi berwarna)," ujar pria yang telah ikut program pameran Mitra Binaan Bank Mandiri selama dua tahun ini.
Dengan modal tersebut, lanjutnya, dia lalu dapat memproduksi berbagai jenis produk kerajinan kulit pari mulai dari dompet, ikat pinggang, dan sebagainya dengan harga jual antara Rp300 ribu-Rp1,5 juta.
Namun, diakuinya untuk menjalankankan bisnis ini, ia tetap menemui kendala walaupun pasarnya bagus. Kendala pertama adalah sulitnya mencari pengrajin yang mengerjakan dan menjahit kulit pari tersebut. "Karena teknik pengerjaannya berbeda dengan kulit sapi, ini jauh lebih sulit. Jarang yang bisa," terangnya.
Selanjutnya, kendala yang kedua adalah modal. Dirinya memang mengakui walaupun telah memperoleh modal dari Bank Mandiri sebesar Rp20 juta, namun dirinya merasa masih sangat kurang.
"Karena kita kan masih harus beli mesin jahit untuk menjahit kulit pari tersebut. Dan karena kulit pari jauh lebih keras dibandingkan kulit sapi maka mesin jahitnya harus yang berkualitas baik. Minimal produksi Korea Tidak bisa memakai buatan China," jelasnya.
Menurutnya, jika hitung-hitungan modal idealnya, ia menilai Rp100 juta saja masih belum cukup. Hal ini karena harga per satuan mesin jahitnya sekira Rp5 juta.
Untuk menyiasati terbatasnya modal, maka ia membentuk perusahaan patungan bersama kedua rekan bisnisnya. Wawan Purnomo yang memiliki toko di Banyudono Boyolali, Agung yang bertempat di Karawaci Tangerang dan dirinya sendiri yang memiliki toko di Ciumbeulit Bandung.
Selain itu, dirinya juga menyiasati dengan tidak hanya menjual kulit pari saja tetapi juga kulti ular dan kulit sapi. Untuk kulit sapi dibelinya minimal per 500 squarefeet dengan harga Rp15 ribu per squarefeet-nya. "Tetapi masih lebih cepat laku kulit pari. Soalnya bahannya unik dan banyak digemari konsumen," tambahnya. .(ade)
Bisnis Clothing
“Tahun lalu (2009), pameran saya bisa dibilang lain dari yang lain karena foto-foto saya ditampilkan dengan media kaus atau t-shirt,” kenang Gani saat berbincang dengan harian Seputar Indonesia (SI). Melihat hasil foto Gani dalam paduan t-shirt yang cukup baik dan menarik, Gani diusulkan untuk mencoba bisnis kaus atau t-shirt dengan konsep yang lain daripada yang sudah ada sebelumnya. Konsepnya adalah hasil jepretan kamera Gani dipadu dengan kualitas t-shirt yang baik ditawarkan kepada publik dan tidak hanya dipamerkan. Gani pun memulai langkahnya menjajaki dunia bisnis. Awalnya, hanya satu desain kaus atau t-shirt yang ditawarkan.
Itu pun baru dicetak atau diproduksi setelah ada peminat minimal untuk diproduksi tiga lusin. “Sekarang memang sudah banyak yang jual kaus bergambar Persib atau sepak bola. Tapi belum ada yang pakai konsep foto asli. Di sinilah saya melihat adanya peluang itu,” papar Gani. Awal memulai kariernya, dia hanya menggunakan media jejaring sosial di internet untuk menawarkan bisnis clothing miliknya. Namun, hal ini dirasa belum maksimal. Dalam benaknya, jika ingin serius harus memiliki outlet atau gerai tetap. Tapi hal itu tidak mudah. Lantaran keterbatasan dana, Gani pun mengurungkan niatnya memiliki sebuah gerai yang rata-rata di Bandung disewakan seharga Rp100 juta per tahun.
Otaknya tidak berhenti, ide segar dan inovasi dilakukan agar barang produksinya bisa menjangkau seluas-luasnya dan tidak terpaku di satu tempat saja. Gani melirik minibus sebagai media untuk memasarkan hasil produksinya. Dengan modal yang dimilikinya dan didukung tabungan serta bantuan rekan dan keluarga, Gani pun memutuskan untuk membeli sebuah minibus dan mempercantiknya sebagai gerai berjalan. Modal awalnya saat itu tidak lebih dari Rp200 juta untuk memulai usahanya ini.“Untuk beli minibus sampai diperbaiki dan dipercantik, biaya yang dihabiskan sekitar Rp175 juta. Biaya produksi kaus dengan 14 desain sampai Rp15 juta,” jelasnya. Merek yang dipilih adalah “Maenball” dan “Just Persib”.
Dua merek tersebut digunakan untuk dua konsep kaus, merek Maenball untuk konsep sepak bola secara umum dan Just Persib yang lebih spesifik berdesain tim Persib Bandung. Gani mengakui, jika menjual segala hal yang berbau klub Maung Bandung tersebut, sudah tentu akan diburu para bobotoh yang terkenal dengan fanatismenya. Minibus ini mudah ditemui di sudut Kota Bandung. Biasanya, minibus tersebut mangkal di stadion Persib untuk memudahkan masyarakat yang datang meskipun sekadar melihat-lihat kreativitas Gani dan kawan-kawan yang dituangkan dalam bentuk kaus atau t-shirt dan jaket. Gani mengenang, bisnis kaus yang tengah dimulainya sempat mengalami booming pada saat dirinya mengeluarkan desain PSSI sekitar dua bulan lalu. Desain ini, kata dia, banyak diminati dan dicari- cari.
Desain kaus yang berisi kritikan membangun bagi persepakbolaan Indonesia tersebut laku keras hingga 800 buah. “Selama ini belum ada yang penjualannya mencapai angka itu,” tambahnya. Kunci sukses lainnya, lanjut Gani, adalah mempertahankan kepercayaan pembeli dengan menjaga kualitas barang produksi yang tidak menurun dan selalu baik. Dia menjelaskan, dari sisi kualitas, barang produksinya tidak kalah dibandingkan clothing distro lainnya. Sebab, dia memproduksi dan mencetak di tiga produsen yang sudah terkenal mampu menghasilkan kaus dengan kualitas tinggi. Yang membedakan dan membuat barang produksinya laris adalah harga yang terbilang lebih murah jika dibandingkan dengan para pesaing-pesaingnya.
Dia pun tidak khawatir ditinggal pembelinya. “Kita punya pangsa pasar khusus, yaitu bobotoh, jadi harga pun harus menyesuaikan dengan mereka yang rata-rata menengah ke bawah. Kalau yang lain jual Rp80.000, kita hanya Rp65.000 saja, tapi kualitas sama,” ujarnya. Terbukti sudah, meskipun baru menjalani bisnis ini dalam hitungan di bawah satu tahun, Gani dan rekan-rekannya tidak mengalami kerugian. Meskipun omzetnya setiap bulan tidak tetap, dia yakin dengan inovasi ide-ide segar dan kreatif, bisnisnya akan tetap menjanjikan. Saat ini saja, kata dia, omzet dari bisnis clothing-nya sudah berada di kisaran angka Rp20 juta per bulan. (wisnoe moerti)(adn)(Koran SI/Koran SI/rhs)
Okezone.com
Bisnis Kopi Gayo
Di masa inilah Sadarsah nekat mengambil inisiatif untuk mendirikan usaha sendiri yakni bisnis ekspor kopi ke luar negeri. “Ketika itu, Haji Abu Bakar memberikan modal kepada saya untuk dikelola. Dia juga yang menyiapkan gudang dan sebagainya,” ungkap lelaki kelahiran 19 November 1974 ini.
Lewat bantuan koleganya inilah usaha yang dirintis Sadarsah didirikan dengan sederhana. Awal usahanya dimulai dengan mengekspor satu kontainer kopi ke luar negeri.
“Di masa itu, langsung banyak permintaan kopi kepada kita.Rata-rata,penikmat kopi dari luar negeri menginginkan kopi organik,” kata anak dari pasangan Mude dan Ratih ini.
Dia pun berupaya memperoleh sertifikat kopi organik dari lembaga sertifikasi Control Union di Belanda. Syarat untuk memperoleh sertifikasi tersebut harus mendirikan koperasi yang bermanfaat untuk menaungi petani kopi. Sadarsah lalu mendirikan koperasi bernama KSU Arinagata.
Pada 2006,anggota KSU Arinagata sebanyak 335 orang dan saat ini mencapai 2.600 orang dengan total area penanaman kopi 2.700 hektare di Aceh Tenggara dan Bener Meriah (Takengon). Saat ini Sadarsah juga membina dua koperasi.
Yang pertama Koperasi Tunas Indah beranggotakan 3.958 orang beserta area 4.140 hektare penanaman kopi di Aceh Tenggara dan Bener Meriah. Selanjutnya, Koperasi Lintong dengan anggota asosiasi petani kopi lintong organik.
Koperasi ini memiliki anggota 120 orang dengan jumlah penanaman kopi di Lintong seluas 200 hektare. Untuk kopi gayo, CV Arvis Sanada mengusung merek Sumatera Arabica Gayo, untuk kopi lintong memakai merek Sumatera Arabica Lintong.
Adapun untuk kopi konvensional menggunakan merek Sumatera Arabica Mandailing. Namun pembeli dari luar negeri juga menginginkan lisensi keterurutan barang, manajemen koperasi, dan berdagang secara adil, yaitu lisensi Fair Tradedari Jerman.
“Perdagangan yang adil ini harus mengatur mata rantai yang tegas dan jelas dari anggota (petani kopi) ke koperasi, koperasi ke CV Arvis Sanada, dan dari CV Arvis Sanada ke pembeli di luar negeri,” sebutnya.
Dengan adanya lisensi itu,maka penikmat kopi dari luar negeri dapat mengetahui dari mana asal kopi yang diminumnya.
Sebaliknya, petani kopi binaan juga langsung mendapatkan pembagian keuntungan. Sebab, dari 1 kg kopi yang dinikmati peminum kopi di luar negeri, sebesar Rp1.800/kg dari harga kopi akan dikembalikan kepada petani kopi untuk kesejahteraan mereka.
Bahkan pada 2009–2010, dana yang dikembalikan penikmat kopi organik ini terkumpul Rp2 miliar. Dana inilah yang harus kembali diberikan kepada petani kopi dengan berbagai program yang telah dilakukan CV Arvis Sanada.
Antara lain pembagian sembako, pendirian tempat-tempat kursus, sarana air bersih,unit usaha seperti toserba yang kemudian hasilnya dibagikan kepada seluruh anggota koperasi. Dana pengembalian yang terkumpul dari penikmat kopi ini juga harus benar-benar disalurkan kepada petani yang tergabung dalam koperasi.
Saat ini CV Arvis Sanada mengekspor kopi ke Amerika Serikat,Eropa, dan Asia. Negara-negara yang jadi tujuan ekspornya antara lain Taiwan, Korea, Australia, Jepang, Laos.
Pertumbuhan bisnisnya begitu cepat. Pada 2006, omzetnya hanya mencapai Rp600 juta per bulan dengan mengekspor satu kontainer dan harga kopi Rp30.000/kg saat itu.
Tahun 2007, omzetnya mencapai Rp1,5 miliar per bulan dengan mengekspor 3 kontainer dengan harga kopi Rp30.000/kg. Pada 2008, omzetnya Rp3 miliar per bulan de-ngan mengekspor lima kontainer dan harga kopi Rp32.500/kg.
Tahun 2009, omzetnya sudah mencapai Rp5 miliar dengan mengekspor 8 kontainer per bulan dan harga kopi Rp35.000. Tahun 2010 ini,omzetnya telah mencapai Rp7,6 miliar per bulan dengan mengekspor 12 kontainer dan harga kopi Rp35.000/kg. Jika pada 2006 lalu Sudarsah hanya mampu mempekerjakan 15 orang karyawan, saat ini karyawan perusahaan eksportir biji kopi miliknya sudah mencapai 100 orang. Berbagai kesulitan dan kendala dalam membesarkan usaha pernah dialami lelaki yang awalnya tak pernah bercita-cita menjadi pengusaha ini.
“Pertama, kesulitan yang kita alami adalah modal. Saat ini kita belum mampu memenuhi permintaan pembeli luar negeri yang per bulan meminta 20 kontainer. Kita hanya mampu menyuplai 12 kontainer. Itu terjadi karena kita masih terbatas modal, apalagi sekarang kita membina tiga koperasi,”katanya. Tak hanya itu, ujarnya, bisnis kopi membutuhkan modal besar pada masa-masa panen raya yang hanya terjadi dua kali dalam setahun. (lia anggia nst)(Koran SI/Koran SI/ade)
Okezone.com
nice info ..salam kenal....
BalasHapuscheck it out.. klik ini